Wednesday 16 February 2022

Awal Semua Bermula

 


Awal Semua Bermula

 

“Tetaplah hidup, Anakku!”

Dengan sedikit sisa energi murni yang ada, lelaki muda berwajah tampan itu melempar Rangga. Dalam sepersekian detik, Poeranto melesat dari belakang si lelaki berwajah tampan. Ia mengejar dan mencoba menangkap bocah yang sedang melesat itu. Namun, usahanya gagal, Rangga meluncur sangat cepat di udara, melewati pagar beton setinggi tujuh meter.


Anak kecil itu kemudian terjun ke dalam jurang yang sangat gelap. Untuk kemudian diterima oleh derasnya arus sungai Brantas yang ada di bawah tebing, tempat rumahnya berdiri.


Poeranto merasa sangat geram dengan kegagalannya. Ia menggertakkan kedua rahangnya. Matanya menyipit dan memancarkan kemurkaan yang sangat dalam. Kedua tangannya mengepal, menahan diri untuk tidak menghancurkan pagar beton di depannya.


Ia berputar ke belakang, ke arah rumah Rangga berdiri. Dilihatnya lelaki yang tadi melempar Rangga masih tetap di tempatnya berlutut. Mata lelaki ini memancarkan rasa puas dan lega karena berhasil meloloskan Rangga.


Ia tidak tahu apakah Rangga, anaknya, bisa melewati derasnya sungai Brantas yang sedang meluap. Namun, setidaknya, dia tidak mati di tangan jahat sosok di hadapannya, Poeranto. Sosok yang selama ini dianggapnya sebagai guru. Sosok tua yang selalu penuh welas asih kepada keluarganya.


Sosok itu melihat dengan penuh murka kepada ayah Rangga. Di belakang ayah Rangga, mayat-mayat bergelimpangan, buah tangannya malam ini.


Perlahan, Poeranto bergerak menuju ayah Rangga.

“Kini, tibalah waktumu menyusul mereka. Bersiaplah!” kata sosok itu. Ia mengangkat telapak tangan kanannya ke sebelah telinganya. Dari telapak itu, tampak pendar berwarna kebiruan, tanda bahwa energi murni telah dialirkan ke sana.


“Tunggu sebentar. Sebelum pukulan Wojo itu mengenai kepalaku, tolong jelaskan satu hal. Kenapa engkau tega membunuh kami semua? Anak cucumu sendiri, Ayah?” tanya ayah Rangga. Tidak ada rasa gentar dalam kalimatnya, hanya penasaran kenapa Poeranto tega membasmi keluarganya sendiri.


“Kamu tidak akan pernah paham, Anakku,” desis Poeranto. Tanpa ragu, Poeranto meluncurkan telapak tangannya ke arah wajah ayah Rangga. Hasilnya, kepala itu hancur. Hanya menyisakan seonggok daging yang melekat di leher. Seperti belasan korban lain yang ada di belakang ayah Rangga.

Setelah memastikan semua penghuni rumah megah itu mati, Poeranto melesat pergi. Ia berniat mengejar Rangga ke arah sungai mengalir. Ia ingin membunuh satu-satunya keturunannya yang masih tersisa.


***


Sementara itu, setelah meluncur belasan meter ke arah sungai, tubuh Rangga disambut derasnya arus sungai Brantas. Hujan deras dari sore, membuat debit air sungai meningkat drastis. Begitu juga dengan alirannya, menjadi berkali lipat lebih deras.


Bocah berumur tujuh tahun itu sekuat tenaga mempertahankan posisi mulut dan hidungnya agar berada di atas permukaan air. Walaupun sering gagal dan banyak air masuk ke dalam mulutnya, tetapi sesekali ia masih sempat menghirup udara.


Rangga juga berusaha untuk menggapai pinggiran sungai. Alih-alih berhasil, ia selalu terpeleset saat mencoba meraih padas. Saat berhasil menggapai dahan pohon bambu yang menjuntai, hasilnya tetap sama saja. Malah tangannya jadi penuh luka karena tergores duri.


Pakaiannya sesekali tersangkut batang bamboo atau batang pohon lain. Namun hal itu tidak cukup kuat untuk memberikan kekuatan yang bisa menahannya dari terjangan arus. Malah, pakaiannya menjadi compang-camping, karena sobek tersangkut dahan.


Akhirnya, bocah itu pasrah mengikuti arus sungai. Kemana pun arus akan membawanya. Ia hanya berusaha untuk tetap bisa bernapas di tengah derasnya aliran sungai.


***


Kegagalan Rangga menggapai pinggiran sungai membawa berkah baginya. Sehebat apa pun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Poeranto, ia tetap tidak bisa menyamai derasnya arus sungai. Poeranto tidak berhasil menemukan sedikit pun jejak Rangga di pinggiran sungai. Satu-satunya jejak yang berhasil didapatkan hanyalah sobekan kecil kain berdarah yang tersangkut ranting bambu.


Lelaki tua itu menghentikan pencariannya setelah lima kilometer. Ia berpikir bahwa, jika anak sekecil itu tidak bisa menggapai pinggiran sungai setelah sejauh ini, bisa dipastikan ia telah mati terseret arus.

Setelah menghela napas panjang, Poeranto melesat ke arah timur. Tujuannya satu, alas Purwo.

 

#30DWCJilid35

#Day1

#Squad5

#AwalMulaKejadian


Monday 8 October 2018

Perahu

Adalah aku yang bergerak beriringan waktu;
mencoba untuk melawan takdir
Adalah aku yang mengalir bersama helaan nafas;
tak pernah kalah atau mengalah
Adalah aku yang melayang menggapai dalam riak;
selalu bertarung dengan cabikan
Tertatar peluh basin, dan anyir darah..
Menebas leher Sang Ratu yang kehilangan jati diri
Atau menuang arak bersama Sang Rahib ..
atau merobohkan barisan mata angin
Semua kulakukan
dan ya, aku Sang Penjaga
"Tunduklah di hadapanku!!" teriak ku.
Tak pernah ku menunjukkan punggungku..
Aku selalu membidik ke arah keabadian..
Kutantang restu Iblis, bersama setiap ayat-ayat kebahagiaannya..
Kutantang murka Ilahi, bersama semua ancaman yang mengiringi..
Pijakku mengakar sangat kuat,
Jejakku sangat dalam..
..sampai saat..
aku lihat embun yang kokoh berpijak pada ranting rapuhpun terjatuh..
..dan terserap musnah di hamparan kelam tanah kering.
Kurapal puja mantra..
Saat waktu tak lagi menemaniku, saat kaki tak lagi mampu menahan..
saat aku harus merangkak dan merayap..
dan saat perahuku tak mampu kukayuh..
Kurapal puja mantra..
untuk sosok yang pernah Kau hadirkan dalam lelapku:
Wujudnya tak menyeramkan,
seperti bintang malam yang bersemayam dalam lelap kelopak sang fajar.
Kurapal puja mantra
Saat waktu terus mengalir, bersama rumput yang semakin tinggi..
Aku ingin berhenti dan bersandar bersamanya..
Kulihat, saat itu, pewaris jiwaku lahir dalam akhir perjalanan..
Dan dengan senyum, akan kulihat mereka..
mengucap puja mantra doa ... disekeliling papan yang bertulis namaku..

Ditulis oleh GoNdoel pada 03 Maret 2016, di Mugi Griya

Anas Sang Kaisar

Tak tak tak tak ....
Suara langkah kaki itu semakin dekat. Dia tahu bahwa pemilik langkah itu bukan orang sembarangan. Karena suara "tak" itu sedikit terlambat dibandingkan hembusan angin yang seharusnya menyertainya.
Tetapi Anas, lelaki kurus dengan rambut ikal sebahu yang diikat ekor kuda itu tidak melambatkan langkahnya ataupun mempercepat. Toh suara langkah di belakangnya masih belum bisa mendekatinya.
Tiba tiba di tikungan sekira dia berbelok ke kiri dan menghentikan langkahnya di jalanan yang luas depan sebuah gedung sekolah. Menunggu.
Tidak sampai sekedipan, sosok yang mengikutinya tadi nampak di tikungan dan menghentikan langkahnya juga demi melihat Anas berdiri.
Ujung mantel bahan sintetis yang dipakainya berkibar dibelakang tubuhnya dihembus angin tengah malam.
"Berapa kali kukatakan, agar kau kembali ke Patirtan. Tenagamu lebih dibutuhkan disana."tiba tiba Anas berkata. Jarak mereka berdua sekira 200 meter. Tapi suara Anas bisa mencapai orang selanjutnya tanpa terdengar berteriak, seperti orang berbicara normal berhadapan.
Tiba tiba, sosok yang diajak berbicara melakukan lompatan ke depan. Dalam sekali lompat, dia bisa mencapai depan Anas dan langsung bersikap berlutut dengan kaki kanan ditekuk.
Setelah melakukan sembah, sosok tersebut berkata "Maaf Kaisar, saya tidak bisa. Saya diperintahkan untuk menjaga Kaisar."
"Apa kau kira kemampuanku dibawahmu sehingga aku perlu kau jaga,?" kata Anas tanpa nada sinis.
"Saya tidak berani, Kaisar. Tapi ini adalah perintah, dan lebih baik Kaisar bunuh saya disini daripada saya harus kembali ke Patirtan" kata sosok tadi lagi.
"Ah sudahlah. Dasar perempuan." cetus Anas. "Baiklah, kamu boleh mengikutiku, tapi ada syaratnya."lanjutnya.
"Akan saya laksanakan, Kaisar" kata sosok yang ternyata adalah perempuan itu.
"Pertama, berjalanlah disampingku..." sebelum Anas selesai sudah dipotong "Tapi Kaisar..." kata perempuan tadi
"Kedua, jangan pernah membantah" lanjut Kaisar Anas tanpa terpengaruh pemotongan pembicaraan tadi.
"Dan ketiga, jangan tunjukan kalau kamu adalah bawahanku, bersikaplah wajar. Mengerti,?" ucap Kaisar.
Perempuan itu berpikir sebelum menjawab. Dia berpikir, selama bisa menunaikan tugasnya, dan karena syarat-syarat Kaisar Anas tidak ada larangan untuk dilakukannya, akhirnya dia menjawab "Mengerti dan akan dilaksanakan, Kaisar."
"Berdirilah, dan mulai laksanakan ketiga syarat tadi" pungkas Kaisar.
Perempuan itu berdiri dan mulai mengimbangi Anas berjalan disampingnya. Mereka terlihat berjalan cukup wajar, walaupun jarak yang mereka tempuh terlampau cepat untuk dibilang berjalan.
Tiba tiba Kaisar Anas berhenti dan menahan lengan pendampingnya. "Tahan nafasmu" bisik Anas.
Tanpa bertanya, perempuan itu menurut dan menahan nafasnya.
Tidak berapa lama, lewatlah serombongan orang berbaju merah. Mereka berjumlah lebih dari 15 orang. Jarak mereka dengan Anas cukup dekat, hanya sekitar 5 meter saja. Tapi karena Anas dan pendampingnya berada di balik pohon beringin, orang orang itu tidak menyadari keberadaan mereka berdua.
Rombongan berbaju merah itu semuanya mengenakan topeng topeng lucu dari kayu dengan warna dasar putih. Mereka berjalan dengan sangat cepat seperti melayang dan tanpa suara sedikitpun, bukti bahwa mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang mumpuni. Dan kenyataan bahwa Anas mampu mendeteksi keberadaan mereka sebelum mereka tampak, membuktikan kemampuan Anas yang sangat tinggi.
Tidak sampai sepuluh detik rombongan itu telah lewat. Anas menunggu beberapa detik lagi sebelum mulai berkata, "Kita ikuti mereka, Ega"
"Baik, Kaisat", kata perempuan yang dipanggil Ega.
"Kita tetap harus menjaga jarak."kata Kaisar. "Mereka bukan orang orang dari tingkatan tinggi. Persangkaanku, mereka adalah putut, bukan murid murid. Tapi dengan jumlah seperti itu, pasti akan menimbulkan keributan, dan itu yang harus kita hindari." lanjut Kaisar Anas.
"Saya setuju, Kaisar."jawab Ega. "Kaisar, sepertinya tujuan kita sudah dekat. Kalau dilihat dari pakaian mereka tadi, saya yakin bahwa mereka adalah orang orang dari Padepokan Wadana Wreksa atau Muka Kayu." lanjut Ega.
"Kamu benar. Kalau memang mereka akan pulang, maka kita akan menemukan tempat Ki Bjuz bersembunyi." kata Kaisar. "Sudah hampir empat bulan aku mengitari tapal kuda ini untuk mencari dia." lanjutnya.
"Mohon maaf atas kelancangan saya, Kaisar. Bolehkah saya tanya, ada apa sebenarnya anda mencari Ki Bjuz,?" Ega bertanya.
"Itu semua karena .... tunggu, berhenti,!" perintah Kaisar tiba tiba, tidak jadi menjawab pertanyaan Ega tadi. Mereka berdua berhenti, dan Ega terlihat kebingungan, "Kemana perginya mereka, Kaisar,? Kenapa tiba tiba ada savanah luas disini"
"Sebenarnya, dua ratus meter ke arah jam sebelas kita, ada sebuah regol besar. Tidakkah kau melihatnya, Ga,?" tanya Kaisar untuk menjawab Ega.
Ega celingukan dan memicing micingkan mata. Bahkan dia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya untuk membantunya melihat. "Saya tidak bisa melihatnya, Kaisar"tukas Ega pada akhirnya.
"Tidakkah Mbah membekalimu semacam kacamata,?" tanya Kaisar.
"Benar" kata Ega sambil membuka ranselnya dan mengeluarkan semacam alat seperti batang kecil sepanjang dua sentimeter. Ega kemudian memasangnya di wajahnya. Dalam waktu kurang dari lima detik, alat itu sudah berubah menjadi semacam kacamata yang pas dengan kontur wajah Ega. Kemudian dia mengarahkan pandangannya seperti tadi ditunjukkan oleh Kaisar Anas.
"Wah, anda benar, Kaisar." kata Ega sedikit takjub. Sebenarnya, dia bukan takjub oleh penampakan regol yang memang cukup besar, sekitar empat meter jika diukur dari dasar ke puncaknya. Ega takjub karena regol itu ditidurkan, bukannya berdiri seperti umumnya regol. Dan dengan dibantu teknologi sedemikian rupa, sehingga mata kasat tidak akan bisa melihat regol tersebut. Dan Kaisar mampu menemukannya tanpa harus menggunakan kacamata seperti Ega.
"Bagaimana ini , Kaisar,?" tanya Ega.
"Untuk saat ini sampai nanti aku bertemu Ki Bjuz, kau berjalanlah di belakangku. Dan jangan melakukan apapun kecuali aku perintahkan. APAPUN YANG TERJADI, paham,?"Kaisar memberikan tekanan pada kalimatnya yang terakhir.
"Tandya,!"jawab Ega. Kemudian Ega mengikuti Kaisar menuju regol rubuh tadi. Sepanjang dua ratus meter menuju regol tersebut, Kaisar tak berhenti mengibaskan ujung jubahnya. Dan terdengar bunyi bergemrincing jatuh ke tanah. Mereka mendapat serangan kelereng besi.
Tibalah mereka di depan regol.
Dang dang dang,!!! "Bi.. keluarlah atau ijinkan kami masuk,!" kata Kaisar tanpa basa basi.
Dang dang dang,!!!, Kaisar kembali menggedor regol dengan tumit sepatunya.
Tak berapa lama, tampak keluar sebatang tongkat dari dalam tanah disamping kanan regol. Tongkat itu setinggi 2 meter dan berbentuk bulat begitu saja. Dari tongkat itu keluar suara, "Hahahahahasssuuu, Kaisar. Mau apa kau kemari,?" kata suara dari tongkat.
"Jaga mulutmu,!" bentak Ega tiba tiba.
"Bagian mana dari 'jangan lakukan apapun kecuali aku perintahkan' yang kau tak pahami, Ga,?"tukas Kaisar.
"Tapi..."belum selesai kalimat Ega, sudah dipotong lagi oleh Anas, "Bagian mana dari 3 syarat tadi yang kau tidak paham,?"
"Baik, Kaisar" kata Ega pasrah.
"Sudah pertengkaran rumah tangga kalian,?"kata suara di tongkat. Walaupun gelap, Ega takut bahwa Kaisar mengetahui bahwa wajahnya bersemu demi mendengar pertanyaan suara tongkat tadi.
"Bi, keluarlah.. atau ijinkan kami masuk" kata Kaisar tanpa menghiraukan pertanyaan tadi.
"Kau belum menjawab pertanyaanku: mau apa kau kemari,?" kata suara dalam tongkat.
"Aku .. ehm, kami perlu bantuanmu, Bi. Kita tidak punya waktu lagi," kata Kaisar.
Lama tak ada suara, hanya suara jangkrik dilapangan yang mengisi keheningan. Kemudian dari tongkat keluar suara, tapi bukan suara yang awal tadi, "Mohon agar mundur dari regol"
Kaisar dan Ega mundur dua tindak menjauh dari regol. Kemudian tongkat tadi tenggelam lagi ke dalam tanah, diikuti suara berkeriet karena regol terbuka ke dalam.
Tanpa menunggu regol terbuka sempurna, Kaisar mengajak Ega masuk, "Ayo.."
Ternyata, dari balik regol itu ada tangga turun berkelok, tanpa lampu. Di dalam sangat gelap. Secara otomatis, Ega memencet tombol di gagang kacamatanya untuk mengaktifkan night vision mode nya.
Setelah mereka berdua berjalan selama kira kira 2 menit ke arah bawah, tibalah mereka dihadapan sebuah regol lain yang lebih kecil dan normal karena berdiri. Diterangi cahaya obor, regol tersebut terlihat begitu artistik.
Sebelum mengetuk, regol kayu tersebut terbuka ke belakang. Karena belum mematikan mode pandangan malam pada kacamatanya, Ega langsung merasa silau karena dari balik regol tersebut cahaya menyemburat keluar. Kaisar Anas masih berdiri tanpa berkedip sedikitpun.
Sebelum regol terbuka sempurna, melesatlah beberapa anak panah berbarengan. Kaisar masih tetap berdiri dan menahan Ega agar diam seperti dirinya.
"Hahahahahaha...suuu... Koq kamu ndak menghindar,?" kata suara di dalam ruangan.
"Anak anak panah itu tidak mengarah pada kami. Maksudku, kalaupun anak panah itu ada yang mengarah kepada kami, aku yakin pasti akan kau belokan."jawab Kaisar sambil bergerak masuk ke dalam ruangan.
"Hahahahaha ... ssuuu. Masuklah, Kaisar. Selamat datang di Padepokan Wadana Wreksa. Duduklah" seorang lelaki menyambut mereka berdua. Lelaki itu terlihat ceria, dari penampakan raut muka, umurnya mungkin sudah dua kali lipat dari umur Kaisar. Lelaki itu memakai pakaian khas ketua padepokan.
"Terimalah salam hormat saya, Ki Bjuz" Ega mengatupkan tangan di depan dada menyapa hormat lelaki tua itu.
"Hahahahaha .... ssuu... Sudah lama kita tak bertemu, kau sudah berganti kekasih lagi, Kaisar,?"kata Ki Bjuz kepada Kaisar. Belum selesai Ega dengan semu merah di wajahnya, Ki Bjuz sudah menanyainya, "Siapa namamu anak manis,? duduklah."
"Saya Ega Sarkara, dan saya ditugaskan untuk mengawal Kaisar Anas" kata Ega dengan sikap resmi.
"Duduklah," ulang Ki Bjuz. Dia berkata wajar, tapi seperti ada tekanan dalam ulu hati Ega. Kaisar Anas sepertinya tahu itu dan cepat memegang pergelangan tangan Ega dan berkata, "Duduklah disampingku".
Seiring tangan Kaisar yang memegang pergelangannya, Ega merasakan aliran hawa hangat dan menentramkan meluncur dari pergelangannya menuju ke ulu hatinya. Ega kemudian duduk disamping Kaisar Anas.
"Hahaha ... sssuuu. Curang kau, Nas," kata Ki Bjuz tetap ceria.
"Maaf, Kiai. Anak ini terlalu muda, bahkan hanya menerima sepertiga kekuatan Ajian Wisikanala mu pun dia akan kehilangan kesadarannya selama seminggu."tenang Kaisar menjawab.
Sementara, disebelah Kaisar, Ega masih merinding membayangkan apa yang akan terjadi seandainya tadi dia tidak ditolong Kaisar. "Wisikanala.." tanpa sadar Ega bergumam.
"Hei, anak manis. Kau tahu Ajian Wisikanala,?" tiba tiba Ki Bjuz mengalihkan pandangan ke arah Ega.
"Mohon maaf, Kiai. Saya hanya pernah mendengarnya. Tapi baru kali ini saya melihat, dan apesnya, merasakannya." jawab Ega, kali ini dia lebih sopan.
"Apa yang kau ketahui tentang Ajian ini,?" tanya Ki Bjuz
"Ajian Wisikanala adalah salah satu ajian paling menakutkan saat Raden Wijaya berjuang bersama 12 pendekar untuk mendirikan Wilwatikta. Ajian Wisikanala adalah ajian milik Kiai Lembu Peteng. Dan menurut guruku, hanya keturunan langsung dari 12 pendekar yang bisa menguasai ....." tiba tiba Ega menghentikan pembicaraannya karena seperti terbetik dalam pikirannya tentang sesuatu hal. "Tunggu dulu, kalau begitu Kiai Bjuz adalah....." belum selesai Ega berbicara, Kaisar sudah memotongnya.
"Benar perkiraanmu, Ga. Kiai Bjuz adalah keturunan dari Kiai Lembu Peteng. Dan itu adalah salah satu alasanku menemuinya saat ini.." kata Kaisar Anas.
Demi mengetahui bahwa Ki Bjuz adalah keturunan langsung dari Lembu Peteng, salah seorang dari 12 pendekar sakti yang mengiring i Raden Wijaya, Ega Sarkara langsung bangkit dari duduknya, dan menghaturkan sambah sungkem dengan mengatupkan tangan didepan dahinya.
"Hormat saya, Kiai. Maaf atas ketidak sopanan saya tadi."kata Ega.
"Aku terima hormatmu, anak manis. Duduklah", jawab Ki Bjuz.
Tidak mau pengalaman terkena Ajian Wisikanala tadi terulang, Ega segera duduk di sebelah Kaisar Anas.
"Kaisar, mari kita persingkat. Apa keperluanmu mencariku,? Kau tahu, aku sudah tidak mau berurusan dengan politik dunia persilatan" kata Ki Bjuz.
"Aku tahu, Ki. Tapi ada 2 hal penting yang aku kira akan menarik perhatianmu.."kata Kaisar.
"Katakan"tukas Ki Bjuz.
"Sabar, Ki. Sebelumnya, aku mau menceritakan beberapa hal kepadamu. Tiga bulan yang lalu, Chikung menemukan bukti keterlibatan Sinelir dalam pencurian Baru Klinting. Tidak lama setelah pusaka itu hilang, beberapa kali gempa terjadi di dompo, pahang, dan beberapa daerah timur Nusantara. Dan, lagi lagi, orang orang Chikung berhasil mendapatkan bukti bahwa itu adalah kegiatan percobaan yang dilakukan Sinelir dengan Baru Klinting."Kaisar menghela nafas sebelum melanjutkan, "Dan beberapa jam lalu, saat saya berjalan ke padepokanmu ini, saya mendapat kabar yang sudah diverifikasi Ega bahwa Chikung baru saja selamat saat berhadapan dengan Ajian Pandan Wangi..."
Ki Bjuz memotong dengan gumaman, "Menjangan Diyu ..."
"Benar Kiai. Tapi bukan cuma beliau, tapi juga Lembu Kuning. Beliau berdua mengeroyok Chikung bersama Tikta, Sinelir. Bagaimana pendapatmu,?" kata Kaisar.
"Kau tahu, kau belum menceritakan 2 hal penting padaku. Kemudian, kau juga tahu kalau aku selalu bersikap netral terhadap urusan Sinelir - Rajasa kalian. Meskipun begitu, aku juga heran jika Diyu dan Kuning muncul bersama Tikta. Hmmmm...." Ki Bjuz sedikit bergumam.
"mohon maaf memotong. Kaisar, Ki Bjuz, kalau boleh bertanya, kenapa Ki Bjuz tidak memihak dan lebih bersikap netral,? Semua pendekar di dunia ini tahu, hanya Sinelir atau Rajasa saja yang nantinya salah satunya akan bisa membangkitkan Arus Api."tiba tiba Ega ikut berbicara.
"Hahaha...ssuuuu... Kaisar Anas, keterlaluan kau. Anak manis begini kau ajak kesana kemari tanpa kau tulari pengetahuanmu."Ki Bjuz berkata kepada Anas, alih alih menjawab pertanyaan Ega.
Di lain pihak, Ega lagi lagi bersemu dadu wajahnya.
"Kiai, bukan aku tidak mau menularkan pengetahuan maupun ilmu ku, tapi aku akan sangat lancang jika melakukannya. Ega sendiri memiliki guru yang mungkin hanya Sesepuh Pasir yang bisa mengimbanginya di jaman ini, " kata Kaisar mencoba membela diri.
"Maksudmu, Ega ini murid dari...."Ki Bjuz tidak meneruskan pertanyaannya.
"Benar, Kiai. Dia ini murid satu satu nya dari Sang Penjaga. Sebagian besar ilmu dan pengetahuan Sang Penjaga sudah diturunkan kepadanya. Dia hanya perlu berlatih lebih tekun dan mencari pengalaman lebih banyak lagi. Itu kenapa, Mbah menugaskannya untuk mengawalku. Merepotkan sekali.."kata Kaisar Anas.
"Beruntung sekali kau, Anak Manis. Dimana gurumu sekarang,?"Ki Bjuz bertanya kepada Ega.
"Saya sendiri tidak tahu, Kiai. Sudah lebih dari 3 mongso ketigo belum juga ada kabar dari guru. Semenjak saya diijinkan bergabung ke dalam divisi Mbah Sultan."jawab Ega sedikit sedih.
"Tenang, Ga. Gurumu pasti kemabali,"kata Kaisar, walaupun dengan nada sedikit tidak yakin.
"Sebenarnya, kemana Sang Penjaga pergi,?"tanya Ki Bjuz lagi.
"Dia mencoba untuk menghadap Ratu Junjung Buih. Karena menurutnya, satu satunya yang bisa mengalahkan Baru Klinting adalah pusaka di dasar selat Karimata itu. Dan inilah alasan kami kesini. Dua hal yang kami butuh nasehatmua adalah ini ...." Kaisar Anas merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebentuk benda sebesar telapak tangannya dan sebuah perkamen.
"Darimana kau dapatkan ini,?" kata Ki Bjuz sedikit heran.
"Kami juga bingung, karena sebenarnya, kedua hal ini dititipkan Sang Penjaga kepada Ega untuk diberikan kepadaku. Karena aku tidak segera pulang ke Patirtan, Mbah menyuruh Ega untuk menyusulkan ini kepadaku. Saat aku meminta pendapat Punggawa lain di Patirtan, mereka juga tidak paham, bahkan Paman dan Rajib sekalipun. Dan menurutku, satu satunya orang yang tahu dan bisa memahami dua hal ini adalah Sang Penjaga dan kau, Kiai." kata Kaisar memberikan penjelasan. "Dan karena keberadaan Sang Penjaga yang entah dimana, juga dia tidak memberikan petunjuk apapun, maka kuputuskan untuk mencari jejakmu. Disinilah kami sekarang"pungkas Kaisar.
"Baiklah, kemarikan. Aku akan coba menelaahnya."kata Ki Bjuz.
Kaisar mnyorongkan kedua benda di tangannya kepada Ki Bjuz yang diterima dengan sangat ta'dhim. Ki Bjuz mengamati kedua benda itu. Batu putih licin sebesar telapak tangan, berbentuk oval dan setebal satu ruas jari. Tanpa ada apapun di permukaannya.
Yang kedua, sebuah perkamen berwarna kecoklatan. Sekilas tampak seperti kulit. Di salah satu permukaannya terdapat barisan tulisan dalam huruf huruf yang bukan pallawa pun bukan jawa. Perkamen itu sebesar kertas A5, dengan sisi seperti sengaja dibakar. Tulisan didalamnya begitu kecil sehingga perkamen sekecil itu dapat menampung lebih dari 100 baris.
"Tulisan karya Eyang Narasinghamurti..."Ki Bjuz bergumam.
"Lihatlah, perkamen ini pun hasil karya beliau. Sekilas, terlihat dan terasa seperti kulit kerbau. Tapi bukan,. Perkamen ini dari ron-tal yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi seperti ini dan bertahan selama berabad abad. Biarkan aku membacanya, Nas.."lanjut Ki Bjuz.
"Silahkan. Kau ingin bawa itu atau tetap disini,?"kata Kaisar.
"Aku tetap disini. Kalau kau ingin beristirahat, silahkan gunakan salah satu kamar disini."sembari berkata, Ki Bjuz bertepuk memanggil seseorang di balik pintu. Datanglah seorang berbaju merah dengan topeng kayu diwajahnya. "Tandya,!" katanya.
"Antarkan tamu tamuku ini ke kamar, dan hidangkan minuman dan makanan kepada mereka"perintah Ki Bjuz kepada lelaki tadi.
"Tandya. Tuan, Nona.. silahkan ikuti saya" kata lelaki tadi dengan sopan.
"Ayo, Ga. Kiai, aku beristirahat dahulu."kata Kaisar Anas.

Anas Sang Kaisar: Selesai

Mulai ditulis oleh GoNdoel pada tanggal 1 Oktober 2018 dan diselesaikan pada 9 Oktober 2018

Monday 1 October 2018

Pendukung Punggawa #1

Untuk kali ini saya ingin memperkenalkan salah satu tokoh pendukung Ndengezz!!!. Karena dari awal Ndengezz!!! tidak pernah merekrut Punggawa, pun juga tidak pernah secara resmi merekrut anggota, jadinya status Punggawa dan Pendukung hanya disematkan dari seberapa intens seseorang berkumpul dengan orang yang itu itu saja (4 awal) dalam satu rentang waktu yang cukup lama.
Contoh, Paman sangat sering, bisa dibilang setiap hari berkumpul dengan Gondoel, Tencrem, Gambleh, Anas. dalam rentang waktu lebih dari tiga bulan saat persiapan Balaram. Setelah itu, dia juga masih sering berkumpul, lebih sering bersama Ndengezz!!! daripada teman teman dia yang lain.
Nah, disini bisa dianggap bahwa Paman adalah seorang Punggawa juga. Dan dia dimasukan 4 akhir karena dia tidak dari awal berkumpul bersama 4 awal. Nanti akan diinformasikan kapan 4 awal mulai ada.
Baiklah, saya akan memperkenalkan Muktar Azhar.
Dia tidak bisa dimasukan ke dalam Punggawa karena saat Ndengezz!!! masih jaya, dia jarang berkumpul dengan intensitas sangat tinggi. Kadang bertemu, kadang tidak. Dan kemungkinan berkumpul dan tidaknya 50-50 cenderung lebih banyak tidaknya.
Walaupun dia sangat mengharapkan bisa bergabung dan menjadi punggawa, dan walaupun dia memiliki semua persyaratan Ndengezz!!!, tapi dia tetap tidak bisa menjadi Punggawa.
Bernama Muhammad Muktar Azhar. Lahir di tahun 1983. Saat ini sudah menikah dan memiliki 2 orang putri cantik.
Saat Ndengezz!!! masih ada, dia adalah seorang pemberani dan pembela Punggawa yang paling bisa diandalkan. Keberaniannya diatas Remek dan Gondoel. Jaringannya sangat luas.
Seorang pencinta alam sejati. Mulai dari sekolah sampai sekarang, masih berkecimpung dengan alam.
Itu dulu untuk Muktar Azhar.

Mulai ditulis oleh GoNdoel pada 1 Oktober 2018

Tuesday 25 September 2018

Paman

"Ah, sudahlah. Ini sudah terlalu lama. Aku akan menjemputnya sekarang." kata lelaki kecil brewokan sambil berdiri dari tempatnya duduk di sudut ruangan.
"Mbah, tolong lihat dimana posisi dia saat ini,?"lanjutnya.
"Kau bawalah alat ini saja, Man. Karena dia selalu berpindah dengan cepat. " jawab lelaki tambun yang dipanggil Mbah.
Lelaki brewok tadi mengambil sebuah alat berlayar seukuran korek zippo. "Hmmm... baru nih. Oke, terimakasih" kata Si Brewok.
Tanpa memandang beberapa lelaki lain yang ada di ruangan tersebut, Si Brewok keluar ruangan. Dia mengambil FN P90 dan 2 magazine dari rak dinding.  Kemudian dia naiki Penigale 1199R dan memakai helm. "Buka pintu" katanya dari balik helm. Tiba tiba pintu selebar 2.5 meter di depannya terbuka ke bawah menjadi semacam jalan seluncuran. Dan tanpa menunggu pintu tersebut terbuka sepenuhnya, Si Brewok langsung tarik gas dan meluncur. Tak dirasakannya gaya tarik trailer yang melaju ke depan saat dia keluar dari kontainernya.
===
Lelalki brewok itu terus saja menggeber motornya ke arah utara. Tak berapa lama, di belakangnya terlihat dua motor yang sama mencoba mengikutinya.
"Berapa orang,?" tanya lelaki brewok, rupanya kepada pengendara di belakangnya melalui microphone yang tertanam di helm nya.
"Kami berempat, Paman" jawab salah seorang pengendara.
"Kalian berempat, putari daerah Kayu Tangan, setelah itu belok kanan di Rajabally ke arah tugu. Setelah tiba, hujani tembakan ke arah penyerang Chikung." kata lelaki brewok yang dipanggil Paman memberikan instruksi.
Tidak berapa lama, di alun alun, Paman mengambil arah kanan menuju belakang balaikota, dan kedua motor lainnya mengambil arah kiri sesuai instruksi Paman.
Dari belakang balaikota, Paman melihat pertempuran Chikung melawan seorang lelaki jangkung. Pertempuran semakin memanas, tapi menurut Paman, tidak akan membahayakan Chikung.
Sampai tiba tiba, dari tempatnya berdiri, Paman melihat bahwa seorang lelaki berambut klimis di belakang si Jangkung menjentikan sesuatu kearah Chikung dan mengenai lutut kanannya, sehingga kedudukan Chikung sedikit goyah yang menyebabkan pukulan lelaki jangkung lawannya mengenai dadanya. DEBB,!!!
"Curang.. dia menggunakan senjata rahasia" Paman membatin.
"Paman, kami sudah tiba di depan Ahmad Yani, dan siap melakukan tembakan.." tiba tiba dari speaker di telinga Paman terdengar laporan.
"Kalian tunggu disana sebanter, sampai kusuruh"jawab Paman.
"Tandya" jawab suara pelapor tadi.

Dari tempatnya berdiri, dia melihat Chikung mulai bersiap dan kedua orang di belakang si Jangkung memasang kuda kuda. "Ah, sial. Itu Pandan Geni.."kata Paman dalam hati.
"Kalian berempat, maju dan tembak lawan Chikung sekarang. Cepat,!!!" setengah berteriak, Paman memberikan instruksi dari microphone nya.
Tanpa berancang ancang, Paman melompat ke atas motornya dan mulai menggeber motornya, tak berapa lama terdengar suara rentetan tembakan dari arah barat sesaat sebelum kedua orang musuh Chikung melepaskan pukulannya.
"Kung, kearah selatan sekarang,!!!" Paman berteriak ke arah Chikung saat musuh musuhnya teralihkan perhatiannya oleh suara tembakan. "Naik Kung" lanjut Paman tanpa mengurangi laju kendaraanya.
Mereka pun melaju dengan kencang ke arah selatan. Tak berapa lama, motor mereka masuk ke kontainer dimana Paman tadi keluar. Chikung dan Paman masuk ke ruangan, disambut oleh Mbah dan beberapa lelaki lain.
"Hahaha...masih hidup kau, Kung" kata lelaki tambun dengan rambut berantakan.
"Cuk, Jib" Chikung membalas. "Hampir saja aku selesai terkena Ajian Pandan Geni" lanjut Chikung.
"Pandan Geni,? Benarkah itu, Kung,?" tiba tiba Mbah menyela.
"Benar, Mbah. Walaupun aku melihat dari kejauhan, tapi aku yakin itu adalah Ajian Pandan Geni" Paman yang menjawab pertanyaan Mbah.
"Pandan Geni ... Pandan Geni... hmmm... Ilmu itu muncul lagi. Ontran ontran apalagi yang menanti di depan.." Mbah bergumam. "Siapa yang membawa Pandan Geni itu,?" Tanya Mbah.
"Yang Mulia Menjangan Diyu dan Yang Mulia Lembu Kuning," jawab Chikung.
BRAKK,!!! Tiba tiba lelaki tambun berambut berantakan menggebrak meja.
"Sudah kuduga. Jancuk,!!!" makinya.
Paman: Selesai

Ditulis oleh GoNdoel pdad 25 September 2018

Punggawa #3

Selanjutnya, saya akan memberanikan diri untuk memperkenalkan: Rajib.
Bernama lengkap: Doni Subiyanto, berbadan tambun dengan tinggi sekira 165 cm. Diantara semua punggawa, dia memiliki wajah paling bersih. Saat ini dia sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang anak laki-laki. Doni juga adalah salah satu punggawa dari 4 akhir yang bukan alumni SMA Negri 4 Malang.
Sebagai Punggawa, Doni berjuluk Rajib. Raja Iblis.
Dia salah satu punggawa (selain Gondoel) yang menjadikan minum minuman keras sebagai profesi, bukan cuma pelarian. Doni juga adalah "penampung" Ndengezz!!! paling ikhlas. Bagaimana tidak, sebagai anak kos, karena dia asli Probolinggo, Doni rela kos nya dijadikan base camp Ndengezz!!!.
Tidak satupun barang miliknya yang aman dari jarahan. Baju, celana, cincin, makanan, apa saja.
Sebulan sekali, pada masa itu, Doni selalu pulang ke Probolinggo. Saat kembali ke Malang, Gondoel dan Tencrem selalu sudah menunggunya di kamar kos nya. Kangen,? Nanti dulu. Mereka berdua menunggu Doni karena setiap kembali dari Probolinggo, Doni selalu membawa Nasi dengan lauk hasil laut yang sangat banyak.
Doni juga merupakan Punggawa yang paling setia kawan.

Ditulis oleh GoNdoel pada 25 September 2018

Thursday 20 September 2018

Tidak

Apakah mungkin seorang lelaki tampak begitu layak dicintai;
ketika dia berada dalam titik ketergantungannya, titik terapuhnya,?
Tentang engkau yang mengelus kepalaku dengan lembut,
saat aku lelap di pangkuanmu.
Atau saat engkau mengecup tanganku, sesaat setelah kita solat.
Dan saat engkau mendekapku di dadamu,
saat engkau duduk di pangkuanku.
Semua hanyalah konfirmasi cintamu padaku.
Memang sudah seharusnya begitu.
Tapi apakah mungkin aku masih layak engkau cintai;
saat aku berada dalam titik terendahku; seperti saat ini,?
Tidak..

Ditulis oleh GoNdoel pada 16 Maret 2016, di Mugi Griya